A. Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan/Kultur In Vitro/Tissue Culture adalah suatu
teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan
bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada
kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali.
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur
jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada
kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media
kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama
media tumbuh untuk eksplan ini biasanya sesuai dengan nama penemunya.
Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan
kimia yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap
persenyawaan. Media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan Anthurium
sendiri adalah media MS dan modifikasinya ( Pierik et al.,1974; Pierik dan
Steegmans, 1976;Kunisaki, 1980; Kuenhle et al., 1992; Chen et al; Hamidah et
al., 1997; Teng, 1997;2 ; Rachmawati, 2005), media Nitsch dan modifikasinya
(Geir, 1986, 1987, 1988).
B. Komposisi
Media Tanam Kultur Jaringan
Pada umumnya komposisi
utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari hormon (zat pengatur tumbuh)
dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam tanah yang dikelompokkan ke
dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik akan dapat kita peroleh
bila, kedalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam amino, dan hormon,
bahan pemadat media (agar), glukosa dalam bentuk gula maupun sukrosa, air
destilata (akuades), dan bahan organik tambahan (Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik selain dari
nutrient yang dalam jumlah yang sedikit (1mM) dapat merangsang, menghambat,
atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979 dalam
Gunawan, 1992). Zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan
untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan
organ. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan.
Secara umum, zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga
kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin.
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk
merangsang pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1992)
Contoh hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol
Acetid Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA).
Golongan sitokinin berperan untuk menstimulus pembelahan sel dan merangsang
pertumbuhan tunas pucuk. Menurut Gunawan (1992), golongan ini sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa
digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine
(BAP). Dan giberelin untuk diferensiasi atau perbanyakan fungsi sel, terutama
pembentukan kalus. Hormon kelompok giberelin adalah GA3, GA2, dan GA1.
Penggunaan hormon tersebut harus tepat dalam perhitungan
dosis pemakaian, karena jika terlalu banyak maupun terlalu sedikit dari dosis
yang diperlukan justru akan menghambat bahkan berdampak negatif terhadap tanaman
kultur. Karena interaksi antar hormon dalam suatu media sangat berpengaruh
dalam diferensiasi sel.
Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan
secara in-vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang
ditumbuhakan di tanah. Unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman di lapangan
merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia dalam media kultur jaringan.
Antara lain adalah unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur-unsur hara
tersebut diberikan dalam bentuk garam-garam mineral. Komposisi media dan
perkembangannya didasarkan pada pendekatan masing-masing peneliti (Gunawan,
1992).
1.
Unsur Hara Makro
adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang
banyak. Hara makro tersebut meliputi, Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K),
Kalsium (Ca), Sulfur (S), Magnesium (Mg), dan Besi (Fe). Kegunaan unsur hara
makro tersebut dalam kultur jaringan menurut Qosim, 2006 dalam Sukarasa, 2007
adalah sebagai berikut:
1)
Nitrogen (N)
Diberikan
dalam bentuk NH4NO3, NH2PO4,NH2SO4.Berfungsi untuk membentuk protein, lemak,
dan berbagai senyawa organik lain, morfogenesis (pertumbuhan akar dan tunas),
pertumbuhan dan pembentukan embrio, pembentukan embrio zigotik dan pertumbuhan
vegetatif.
2) Fosfor (P)
diberikan dalam bentuk KH2PO4.Berfungsi untuk
metabolisme energi, sebagai stabilitor membran sel, pengaturan metabolisme
tanaman, pengaturan produksi pati/amilum, pembentukan karbohidrat, sangat
penting dalam transfer energi, protein, dan sintesis asam amino serta
konstribusi terhadap struktur dan asam nukleat.
3 Kalium (K)
diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O.Berfungsi
untuk pemanjangan sel tanaman, memperkuat tubuh tanaman, memperlancar
metabolisme dan penyerapan makanan, ion kalsium ditransfer secara cepat
menyebrangi membran sel dan mengatur pH dan tekanan osmotik di antara se
4) Kalsium (Ca)
diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O.Berfungsi
untuk merangsang bulu-bulu akar, penggandaan atau perbanyakan sel dan akar,
pembentukan tabung polen, dinding dan membran sel lebih kuat, tahan terhadap
serangan patogen, mengeraskan batang, memproduksi cadangan makanan.
5)
Sulfur (S)
Unsur S merupakan unsur yang penting untuk pembentukan
beberapa jenis protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Unsur S juga berperan
penting dalam pembentukan bitil-bintil akar.
6) Magnesium (Mg)
diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O.Berfungsi untuk
meningkatkan kandungan fosfat, pembentukan protein.
7) Besi (Fe)
diberikan
dalam bentuk Fe2(SO4)3;FeSO4.7H2O.Berfungsi sebagai penyangga (chelatin agent)
yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH media selama digunakan untuk
menumbuhkan jaringan tanaman.Pada tanaman, Fe berfungsi untuk pernapasan dan
pembentukan hijau daun.
2. Unsur
Hara Mikro
Adalah hara yang dibutuhkan dalam
jumlah yang sedikit. Unsur hara mikro ini merupakan komponen sel tanaman yang
penting dalam proses metabolisme dan proses fisioligi lainnya (Gunawan, 1992).
Unsur hara mikro tersebut diantaranya adalah :
a. Klor (Cl), diberikan dalam bentu KI.
b. Mangan (Mn), diberikan dalam bentuk
MnSO4.4H2O.
c. Tembaga (Cu), diberikan dalam bentuk
CuSO4.5H2O.
d. Kobal (CO), diberikan dalam bentuk CoCl2.6H2O.
e. Molibdenun (Mo), diberikan dalam
bentuk NaMoO4.2H2O.
f. Seng (Zn), diberikan dalam bentuk
ZnSO4.4H2O.
g. Boron (B), diberikan dalam bentuk
H3BO3.
3. Usur
Tambahan Lainya
Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur
jaringan tanaman adalah thiamine (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine
(vitamin B6). Thiamine merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan
tanaman karena thiamine mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel. Vitamin
C, seperti asam sitrat dan asam askorbat, kadang-kadang digunakan sebagai
antioksidan untuk mencegah atau mengurangi pencoklatan atau penghitaman
eksplan.
Mio-Inositol atau meso-insitol sering digunakan sebagai
salah satu komponen media yang penting, karena terbukti bersinergis dengan zat
pengaturtumbuh merangsang pertumbuhan jaringan yang dikulturkan (Yusnita,
2004).
Dalam media kultur jaringan, asam amino merupakan sumber
nitrogen organik. Namun sumber N organik ini jarang ditambahkan dalam media
kultur jaringan, karena sumber sumber nitrogen utamanya sudah tersedia dari
NO3- dan NH4+. Asam amino yang sering digunakan adalah glisin, lysin dan
threonine. Penambahan glisin dalam media dengan konsentrasi tertentu dapat
melengkapi vitamin sebagai sumber bahan organik (Yusnita, 2004).
Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur,
karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan
mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan
membutuhkan karbohidart yang cukup sebagai sumber energi. Menurut Gautheret
dalam Gunawan (1992), sukrosa adalah sumber karbohidrat penghasil energi yang
terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak terdapat sukrosa,
sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir. Gula pasir
cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain sebagai sumber
energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.
Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan atau
terkena dengan medianya. Bahan pemadat media yang paling banyak digunakan
adalah agar-agar. Agar-agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari
beberapa spesies algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar
mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan Na (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992).
Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah :
1.
Agar-agar membeku pada suhu 45° C
dan mencair pada suhu 100° sehingga dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan
berada dalam keadaan beku yang stabil.
2.
Tidak dicerna oleh enzim tanaman.
3.
Tidak bereaksi dengan
persenyawaan-persenyawaa penyusun media.
Selain agar-agar, bahan pemadat
media yang semakin banyak disukai adalah Gelrite TM (buatan Kelco). Gelrite
adalah gellam gum, suatu hetero-polisakarida yang dihasilkan bakteri
Pseudomonas elodea, terdiri dari molekul-molekul K-glukuronat, rhamnosa, dan selobiosa.
Sebagai bahan pemadat media gelrite memiliki sifat-sifat yang menguntungkan
sebagai berikut :
1) Gelnya lebih jernih.
2) Untuk memadatkan media dibutuhkan
lebih sedikit daripada agar, sekitar 1,5 -3g/l
3) Lebih murni dan konsisten dalam kualitas.
Untuk mencapai kekerasan gel
tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah dari agar-agar, pada umumnya 2gr/l
media. Namun kekerasan gel dari gelrite sangat dipengaruhi oleh kehadiran
garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2.6H2O dan CaCl2. Garam NaCl dan KCl
menurunkan kekerasan gel, tetapi MgCl2 dan CaCl2 meningkatkan kekerasan gel
(Gunawan, 1992; 57 ).
Salah satu kelemahan Gelrite adalah cenderung menaikkan
kelembaban nisbi (RH) dalam kultur, sehingga sering menyebabkan terjadinya
verifikasi. Gelrite jarang digunakan untuk produksi planlet secara komersial
terutama di Indonesia karena harganya mahal (Yusnita, 2003).
Kultur yang kurang berhasil, kadang-kadang disebabkan oleh
pemakaian air yang kurang murni (Wetherel, 1976). Tidak boleh sembarang air
dapat digunakan untuk membuat media kultur. Contohnya air sumur atau air
ledeng, dalam air tersebut mengandung banyak kontaminan, bahan inorganik,
organik, atau mikroorganisme. Air yang digunakan untuk membuat media harus
benar-benar berkualitas tinggi, karena air maliputi lebih adari 95% komponen
media. Terhambatnya pertumbuhan tanaman yang dikulturkan dapat disebabkan oleh
rendahnya kualitas air yang digunakan. Untuk menghindari hal tersebut, maka sebaiknya
digunakan air yang telah dimurnikan atau yang sering kita sebut air destilata
(akuades) atau air destilata ganda (akuabides). Dengan alasan ini, sebaiknya
sebuah laboratorium kultur jaringan layaknya mempunyai alat penyulingan air
(water destilator) atau setidaknya alat pembuat air bebas ion (deionizer). Cara
kerja destilator dalam menghasilkan air destilata adalah dengan cara mengubah
air menjadi uap air, kemudian mengkondensasikan uap air tersebut. Maka, jadilah
air destilata yang tidak lagi berisi mineral atau senyawa organik (Yusnita,
2004).
Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman
atau kebasaan larutan dalam air. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan
teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik
optimal antara pH 5,0 – 6,0 (Daisy, 1994). Faktor pH dalam media juga perlu
mendapat perhatian khusus. pH tesebut harus diatur sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH
selain memperhatikan kepentingan beberapa fisiologi sel, juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor:
1)
Kelarutan dari garam-garam penyusun media.
2)
Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam – garam lain.
3)
Efisiensi pembekuan agar-agar.
Menurut
Gamborg dan Shyluk, 1981 dalam Gunawan, 1992, sel-sel tanaman membutuhkan pH
yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8. Pengaturan pH, biasa dilakukan
dengan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH) atau HCL pada waktu
semua komponen sudah dicampurkan (Gunawan, 1992).
Beberapa formulasi media yang sudah umum digunakan dalam banyak pekerjaan kultur jaringan antara lain adalah media White, Murashige & Skoog (MS), Gamborg et al. (B5), Gautheret, Schenk & Hilderbrandt (SH), Nitch & Nitch, Lloyd & McCown (WPM) dll. Media MS, SH dan B5 merupakan media yang kaya garam-garam makro.
Beberapa formulasi media yang sudah umum digunakan dalam banyak pekerjaan kultur jaringan antara lain adalah media White, Murashige & Skoog (MS), Gamborg et al. (B5), Gautheret, Schenk & Hilderbrandt (SH), Nitch & Nitch, Lloyd & McCown (WPM) dll. Media MS, SH dan B5 merupakan media yang kaya garam-garam makro.
Berikut
penjelasan dari masing-masing komposisi media tersebut :
1. Hara Mikro
Unsur hara mikro terdiri dari enam unsur utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan jaringan tanaman, yaitu: nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Konsentrasi optimum yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan maksimum bervariasi diantara jenis tanaman.
Unsur hara mikro terdiri dari enam unsur utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan jaringan tanaman, yaitu: nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Konsentrasi optimum yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan maksimum bervariasi diantara jenis tanaman.
Media kultur harus mengandung
sedikitnya 25-60 mM nitrogen
anorganik untuk pertumbuhan sel tanaman. Sel-sel tanaman mungkin dapat tumbuh
pada sumber N dari nitrat saja, tetapi diketahui bahwa pertumbuhan yang lebih
baik adalah apabila mengandung nitrat dan amonium. Nitrat yang disediakan
umumnya berkisar 25-40 mM, konsentrasi amonium berkisar antara 2-20 mM. Akan
tetapi untuk beberapa spesies tanaman konsentrasi amonium > 8 mM akan
menghambat pertumbuhan sel. Sel-sel dapat tumbuh dalam media kultur yang hanya
mengandung amonium sebagai sumber nitrogen jika satu atau lebih terdapat
asam-asam yang terlibat dalam siklus TCA (seperti sitrat, suksinat, atau malat)
juga terdapat dalam media pada konsentrasi sekitar 10 mM. Apabila nitrat dan
amonium sebagai sumber nitrogen digunakan bersama dalam media maka ion-ion
amonium akan digunakan lebih cepat dibandingkan dengan ion-ion nitrat. Kalium
dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bagi sebagian besar spesies tanaman.
Umumnya media mengandung kalium
(dalam bentuk nitrat atau klorida) pada konsentrasi 20-30 mM. Konsentrasi
optimum untuk unsur P, Mg, S dan Ca berkisar antara 1-3 mM. Konsentasi yang
lebih tinggi dari hara-hara tersebut mungkin diperlukan jika terjadi defisiensi
dari hara yang lain.
2.
Hara Mikro
Unsur hara mikro yang paling dibutuhkan untuk petumbuhan sel dan jaringan
tanaman mencakup besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), boron (B), terusi (Cu) dan
molibdenum (Mo). Besi dan seng yang digunakan dalam pembuatan media harus dalam
bentuk yang ter ”chelate”. Besi adalah yang paling kritis diantara semua hara
mikro. Besi sitrat dan tartrat dapat digunakan untuk media kultur, tetapi
senyawa ini sulit untuk larutdan biasanya akan terpresipitasi setelah media
dibuat. Masalah ini dipecahkan oleh Murashige & Skoog dengan men ”chelate”
besi dengan menggunakan asam etilen diamintetraasetik (EDTA).
Kobal (Co) dan iodin (I) juga dapat
ditambahkan dalam media tetapi kebutuhan yang jelas untuk pertumbuhan sel belum
diketahui. Natrium (Na) dan klorida (Cl) juga digunakan pada beberapa media
tetapi tidak begitu penting untuk pertumbuhan sel. Konsentrasi Cu dan Co yang
biasanya ditambahkan pada media sekitar 0.1 µM, Fe dan Mo 1 µM, I 5µM, Zn 5-30
µM, Mn 20-90 µM, dan B 25-100 µM.
3.
Karbon dan Sumber Energi
Sumber karbohidrat yang biasanya
digunakan dalam media kultur adalah sukrosa. Glukosa dan fruktosa dalam
beberapa hal dapat digunakan sebagai pengganti sukrosa, dimana glukosa
mempunyai efektivitas yang sama dengan sukrosa dibanding dengan fruktosa.
Karbohidrat lain yang pernah dicobakan adalah laktosa, galaktosa, rafinosa,
maltosa dan pati, tetapi semua karbohidrat tersebut umumnya mempunyai hasil
yang kurang baik dibandingkan sukrosa atau fruktosa. Konsentrasi sukrosa normal
dalam media kultur berkisar antara 2 dan 3%.
Karbohidrat harus tersedia dalam
media kultur karena sangat sedikit sel dari jenis tanaman yang diisolasi dapat
bersifat autotropik, yaitu kemampuan menyediakan kebutuhan karbohidrat sendiri
melalui asimilasi CO2 selama proses fotosintesa. Sukrosa dalam media kultur
secara cepat akan diurai menjadi fruktosa dan glukosa. Glukosa adalah yang
pertama digunakan oleh sel, diikuti oleh fruktosa. Saat media disterilisasi
dengan autoclave, sebagian sukrosa akan mengalami hidrolisa. Apabila sukrosa
yang diautoklap ada bersama komponen media lain maka proses hidrolisa akan
lebih besar. Kultur dari beberapa spesies tanaman akan tumbuh baik pada media
yang sukrosanya diautoklap dibandingkan dengan media yang sukrosanya
disterilisasi dengan filter. Hal ini dimungkinkan akan menguntungkan sel-sel
karena tersedianya glukosa dan fruktosa.
4. Vitamin
Pada beberapa media kultur juga sering ditambahkan
vitamin-vitamin seperti biotin, asam folat, asam askorbat, asam panthotenat,
vitamin E (tokoperol), riboflavin, dan asam p-aminobenzoik. Meskipun vitamin-vitamin
tersebut bukan merupakan faktor pembatas pertumbuhan, tetapi sering memberikan
keberhasilan dalam kultur sel dan jaringan tanaman. Biasanya penambahan
vitamin-vitamin tersebut ke dalam media dilakukan apabila konsentrasi thiamin
dianggap dibawah taraf yang diinginkan atau apabila jumlah populasi sel-sel
yang tumbuh masih rendah.
5. Asam Amino dan Sumber Nitrogen Lainnya
Sumber nitrogen organik yang paling
banyak digunakan dalam media kultur adalah asam amino campuran (casein
hidrolisat), L-glutamin, L-asparagin, dan adenin. Casein hidrolisat umumnya
digunakan pada konsentrasi antara 0.05-0.1%. Asam amino biasanya ditambahkan
pada media terdiri dari beberapa macam, karena sering diperoleh bahwa
penambahan satu jenis asam amino saja justru dapat menghambat pertumbuhan sel.
Contoh penambahan asam amino dalam media untuk meningkatkan pertumbuhan sel
adalah glisin 2 mg/L, glutamin hingga 8mM, asparagin 100 mg/L, arginin dan
sistein 10 mg/L, dan tirosin 100 mg/L. Adenin sulfat juga sering ditambahkan
pada media kultur yang fungsinya dapat menstimulir pertumbuhan sel dan
meningkatkan pembentukan tunas.
6.
Bahan Organik Komplek
Arang aktif (activated charcoal) juga sering digunakan pada media kultur. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan pengaruh yang menguntungkan dan juiga dapat merugikan.
Pada kultur beberapa tanaman seperti anggrek, bawang, wortel dan tomat dapat
menstimulir pertumbuhan dan diferensiasi, tetapi pada kultur tanaman tembakau,
kedelai dan teh justru akan menghambat pertumbuhan. Pengaruh arang aktif
umumnya diarahkan pada salah satu dari tiga hal berikut: penyerapan
senyawa-senyawa penghambat, penyerapan zat pengatur tumbuh atau menggelapkan
warna media. Penghambatan pumbuhan karena kehadiran arang aktif umumnya karena
arang aktif dapat menyerap ZPT. NAA, kinetin, BAP, IAA dan 2iP semuanya dapat
terikat oleh artang aktif.
IAA dan 2iP merupakan ZPT yang
paling cepat terikat oleh arang aktif. Arang aktif dapat menstimulasi
pertumbuhan sel umumnya karena kemampuan arang aktif mengikat senyawa fenol
yang bersifat toksik yang diproduksi biakan selama dalam kultur. Konswentrasi
aArang aktif yang ditambahkan kedalam media kultur umumnya sebanyak 0.5-3%.
7.
Bahan Pemadat dan Penyangga Biakan
Media kultur jaringan tanaman dapat
dibuat padat atau semi padat, yaitu dengan penambahan bahan pemadat berupa agar.
Dibandingkan bahan pemadat lain, agar mempunyai beberapa keuntungan, yaitu (i)
saat dicampur dengan air, agar akan terbentuk bila dilelehkan pada suhu 60o-100oC
dan memadat pada suhu 45oC; (ii) gel agar bersifat stabil pada suhu
inkubasi; (iii) agar
gel tidak bereaksi dengan komponen dalam media dan tidak dicerna oleh ensim
tanaman. Kualitas fisik agar dalam media kultur tergantung pada konsentrasi dan
merek agar yang diguinakan serta pH media. Konsentrasi agar yang digunakan
dalam media kultur berkisar antara 0.5-1%, dengan catatan pH media sesuai
dengan aturan. Penggunaan arang aktif (0.8-1%) dapat mempengaruhi kepadatan agar
yang terbentuk.
Kemurnian agar yang digunakan dalam
media kultur juga merupakan faktor yang penting. Agar yang mengandung
garam-garam Ca, Mg, K dan Na dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam media.
Oleh karena itu penggunaan agar yang murni sangat diperlukan terutama untuk
tujuan percobaan. Untuk memurnikan agar dapat dilakukan dengan cara mencuci
dengan air destilasi selama 24 jam kemudian dibilas dengan ethanol dan
dikeringkan pada suhu 60oC selama 24 jam.
Bahan pemadat lain yang pernah dicobakan adalah gelatin pada konsentrasi 10%, akan tetapi terdapat kesulitan karen gelatin meleleh pada
suhu 25oC. Methosel dan alginat juga pernah dicobakan sebagai bahan
pemadat media, tetapi kedua bahan tersebut sulit penanganannya serta harganya
cukup mahal. Bahan lain yang dapat digunakan adalah agarose (konsentrasi
0.35-0.7%), dimana jenis agar ini banyak digunakan pada pekerjaan teknik kultur
protoplas. Saat ini bahan pemadat yang banyak digunakan adalah agar sintetik
yaitu Phytagel (produk Sigma Chemical) dan Gelrite (produk Kelco Corp.). Agar
jenis ini hanya digunakan 2-2.5 g/L dan menghasilkan gel yang bening yang cocok
untuk mendeteksi ada tidaknya kontaminan.
Gel agar juga berfungsi sebagai penopang agar biakan atau eksplan yang ditanam dalam
media tetap pada tempatnya (tidak bergerak atau berpindah). Metoda lain yang
dapat digunakan untuk penopang atau penyangga biakan adalah jembatan kerta
filter (filter paper bridges), sumbu kertas filter (filter paper wick), busa
poliuretran, celophane berlubang dan poliester. Apakah eksplan akan tumbuih
lebih baik pada media agar
atau dengan penyangga, tergantung dari spesies tanaman yang dikulturkan.
8.
Zat Pengatur Tumbuh
Terdapat empat klas zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang penting dalam kultur jaringan tanaman, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisik. Skoog dan Miller
adalah yang pertama melaporkan bahwa perbandingan auksin
dan sitokinin menentukan jenis dan berapa besar proses organogenesis dalam kultur jaringan
tanaman. Auksin
dan sitokinin
yang ditambahkan kedalam media kultur mempunyai tujuan untuk mendapatkan
morfogenesis, meskipun perbandingannya untuk mendapatkan induksi akar dan tunas
bervariasi baik ditingkat genus, spesies bahkan kultivar.
Sitokinin
yang ditrambahkan dalam media kultur umumnya ditujukan untuk menstimulasi pembelahan sel, menginduksi pembentukan
tunas dan proliferasi tunas aksiler, dan untuk menghambat pembentukan akar.
Mekanisme kerja sitokinin tidak secara pasti diketahui, namun demikian beberapa
senyawa yang mempunyai aktivitas mirip sitokinin
diketahui terlibat dalam transfer-RNA (t-RNA). Sitokinin juga menunjukkan dapat mengaktivasi sintesa RNA dan menstimulasi aktivitas
protein dan enzim
pada jaringan tertentu.
C.
Nama- Nama Media Dasar Kultur Jaringan
Menurut George dan Sherington (1984)
ada media dasar yang pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya,
antara lain:
1. Medium dasar Murashige dan Skoog (MS), digunakan hamper pada semua macam tanaman terutama
herbaceous. Media ini memiliki konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan
senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.
2. Medium dasar B5 atau Gamborg, digunakan untuk kultur suspense sel kedelai, alfafa dan legume lain.
3. Medium dasar white, digunakan untuk kultur
akar. Medium ini merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral
yang rendah.
4. Medium Vacint Went (VW), digunakan
khusus untuk medium anggrek.
5. Medium dasar Nitsch dan Nitsch,
digunakn untuk kultur tepung sari (Pollen) dan kultur sel.
6. Medium dasar schenk dan Hildebrandt,
digunakan untuk tanaman yang berkayu.
7. Medium dasar Woody Plant Medium
(WMP), digunakan untuk tanamn yang berkayu.
8. Medium dasar N6, digunakan untuk
tanaman serealia terutama padi, dan lain-lain.
D.
Perbandingan Komposisi Media Kultur Jaringan
Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media
kultur jaringan, yaitu diantaranya:
1.
Media Murashige & Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur. merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro dalam
media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum
digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk
NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari
N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media
tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga
ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya
konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS,
dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media
: 1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur
makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM,
sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan
senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin
untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh
Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969
dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
Modifikasi media MS yang lain dibuat
oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white
spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi
Ca2+ nya. 3. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan
konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur
pucuk Bougainvillea glabra.
2.
Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi
ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media
Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih
tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis
tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan,
tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk
pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman
tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman
legume.
3.
Media WPM (Woody Plant Medium)
Dikembangkan
oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi
ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman
berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih
tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk
perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
4.
Media Nitsch & Nitsch
Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk
mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium
khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun.
Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus
tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).
5.
Media Knop
Dapat juga digunakan untuk
menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan
kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan
suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and
Roberts, 1983)
6.
Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk
keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro
yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F,
Ca, Hg dan S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media
untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian.
Konsentrasi NO3- dan K+ yang
digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih
rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.
7.
Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk
kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan
pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. S Knudson pada tahun 1922,
menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk
perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm
8.
Media B5(Gamborg)
Dalam metode kultur in vitro dikenal
beberapa macam jenis media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Gamborg (B5). Media B5 dikembangkan oleh Gamborg et al. pada tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pertama kali dikembangkan
untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah
dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur
kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi
seluruh bagian tanaman. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk
kultur-kultur lain.
Media ini dikembangkan dari
komposisi PRL-4, menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi
yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti
lain melaporkan bahwa konsentrasi NH4+ yang tinggi sampai 20 mM berpengaruh
baik dalam kultur jaringan seperti pada kultur kalus tembakau Konsentrasi
fosfat yang diberikan pada media tersebut adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan
Mg antara 0,5-4 mM lebih mengutamakan kandungan ammonium dibandingkan media MS.
Meskipun media B5 pada awalnya
digunakan untuk menginduksi kalus atau diutamakan sebagai kultur
suspensi, tetapi dapat digunakan pula sebagai media dasar bagi perbanyakan
tanaman pada umumnya. Gamborg (1991) menyatakan bahwa kadar hara anorganik yang
dikandung media dasar Gamborg (B5) umumnya lebih rendah dari pada media dasar
MS. Hal tersebut sering kali lebih baik bagi sel spesies tertentu. Untuk
selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat
baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman
E.
TEKNIK KULTUR JARINGAN
Teknik kultur jaringan dapat
dilaksanakan dengan dua metode yaitu:
Ø Metode Padat (Solid Method)
Metode
pada dilakukan dengan tujuan mendapatkan kalus dan kemudian dengan
medium diferensiasi yang berguna untuk menumbuhkan akar dan tunas
sehingga kalus dapat tumbuh menjadi planlet. Media padat adalah
media yang mengandung semua komponen kimia yang dibutuhkan oleh tanaman dan
kemudian dipadatkan dengan menambahkan zat pemadat. Zat pemadat tersebut dapat
berupa agar-agar batangan, agar-agar bubuk, atau agar-agar kemasan kaleng yang
yang memang khusus digunakan untuk media padat untuk kultur jaringan.
Media
yang terlalu padat akan mengakibatkan akar sukar tumbuh, sebab akar sulit untuk
menembus ke dalam media. Sedangkan media yang terlalu lembek akan menyebabkan
kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan dapat berupa tenggelamnya eksplan yang
ditanam. Eksplan yang tenggelam tidak akan dapat tumbuh menjadi kalus,
karena tempat area kalus yaitu pada irisan (jaringan yang luka) tertutup
oleh medium.
Metode
padat dapat digunakan untuk metode kloning, untuk menumbuhkan protoplas
stelah diisolasikan, untuk menumbuhkan planlet dari protokormus
stelah dipindahkan dari suspensi sel, dan untuk menumbuhkan planlet
dari prtoplas yang sudah difusikan (digabungkan).
Ø Metode Cair(Liquid Method)
Penggunaan metode cair ini kurang praktis dibandingkan
dengan metode padat, karena untuk menumbuhkan kalus langsung dari ekspaln
sangat sulit sehingga keberhasilannya sangat kecil dan hana tanaman-tanaman
tertentu yang dapat berhasil. Oleh karena itu, penggunaan media cair lebih
ditekankan untuk suspensi sel, yaitu untuk menumbuhkan plb (prtocorm
like bodies). Dari protokormus ini nantinya dapat tumbuh menjadi planlet
apabila dipindahkan kedalam media padat yang sesuai.
Pembuatan media cair jauh lebih cepat daripada media
padat, karena kita tidak
perlu
memanaskannya untuk melarutkan agar-agar. Media cair juga tidak memerlukan zat
pemadat sehingga keadaannya tetap berupa larutan nutrein.
Nama : Danang Setiawan
NIS : 7875
Kelas : 4 ATP 4